Dengan judul Sahabat Akrab, foto Reuters yang dimuat sejumlah harian ibukota pekan lalu memperlihatkan Menlu AS Condoleeza Rice berjabatan tangan dengan PM Israel Ehud Omert di Jerusalem. Keduanya tertawa-tawa, seolah-olah puas karena pasukan Israel berhasil melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Lebanon dan Palestina — kebanyakan diantaranya wanita dan anak-anak.
Israel yang mendapat dukungan AS juga mempergunakan senjata-sernjata pemusnah massal yang dinyatakan terlarang oleh konvensi Jenewa. Amerika Serikat yang kini makin terus terang membela Israel, menolak gencatan senjata dan menghendaki penyerbuan sekutunya itu ke Lebanon tanpa menghiraukan berapapun korban jiwa. Sementara, pakar hukum dari sebuah universitas ternama di AS tidak menyebutkan serangan Israel itu sebagai kejahatan perang.
Itulah sikap negara imperialis yang mengklaim kampiun hak azasi manusia (HAM). HAM memang milik mereka, bukan milik kita. Sementara PBB tidak berdaya melihat kekejamaan di luar perikemanusiaan itu. Bung Karno pernah menyatakan bahwa PBB nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab. Pernyataan itu dikemukakan saat Indonesia keluar dari organisasi dunia tersebut.
Konon, warga Yahudi sudah sejak kolonial Belanda banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) — dua kawasan etlie di Batavia kala itu — seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company.
Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.
Sejumlah manula yang diwawancarai menyatakan, pada tahun 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Sedangkan Abdullah Alatas (75 tahun) mengatakan, keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab. Maklum kala itu negara Israel belum terbentuk. Seperei keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak.
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942).
Sedangkan Ali Shatrie (87) menyatakan bahwa kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Menurut majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri.
Sedangkan menurut Ali Shatrie, mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Sedangkan Abdullah Alatas mengalami saat-saat hari Sabat dimana warga Yahudi sambil bernyanyi membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. Yang pasti dalam catatan sejarah Yahudi dan jaringan gerakannya, mereka sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Bahkan gerakan mereka disinyalir telah mempengaruhi sebagian tokoh pendiri negeri ini. Sebuah upaya menaklukkan bangsa Muslim terbesar di dunia (Sabili, 9/2-2006).
Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan.
Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah syetan. Disebut rumah syetan, karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan syetan, menurut data-data yang dikumpulkan penulisnya Herry Nurdi.
Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Terutama lewat lembaga masyarakat dan pendidikan. Pada mulanya gerakan itu menggunakan kedok persaudaraan kemanusiaan, tidak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat.
Dalam buku tersebut disebutkan, meski pada tahun 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap ‘teman tapi mesra’ antara tokoh-tokoh bangsa dengan Israel masih terus berlangsung. (RioL)
(Alwi Shahab )
Buku yg memberi tahu jejak Freemasonry di Indonesia
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang musyrik.” (QS Al-Maidah: 82)
Ayat di atas merupakan peringatan Allah SWT tentang bahaya Yahudi bagi umat Islam. Karena itulah, umat Islam harus senantiasa waspada terhadap segala sepak terjang dan tipu daya Yahudi.
Satu dari sekian lini yang dibangun oleh Yahudi adalah Freemasonry, yang merupakan gerakan rahasia terbesar, dan boleh jadi tertua di dunia. Freemasonry berpengaruh di seluruh pusat kekuasaan, lebih-lebih Amerika. Bahkan, gerakan ini pada masanya pernah berkiprah dan menjalankan agenda-agendanya di Indonesia. Sampai sekarang hal itu masih terus berlangsung. Mungkin hingga Hari Kiamat nanti.
Hal itu merupakan inti pesan buku ini. Penulisnya, seorang wartawan Muslim yang gigih, mengupas jejak, gerak-gerik dan memprediksi agenda Freemasonry di Indonesia yang merupakan negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Dalam acara bedah bukunya yang diadakan dalam rangka Islamic Book Fair (IBF) di Senayan Jakarta, pekan silam, penulis menegaskan bahwa gerakan Freemasonry dan Zionis mengembangkan sayapnya di Indonesia melalui lembaga-lembaga pendidikan serta jaringan yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan. Gerakan tersebut hendak melakukan sekularisasi di negeri-negeri Muslim.
Namun, hal tersebut gagal dan sekarang mereka mengubah strategi dengan meliberalkan negeri-negeri kaum Muslim. Hal ini dapat dirasakan pada acara-acara yang ditayangkan di stasiun televisi serta pola hidup beberapa universitas yang mengaku di bawah Islam namun mengusung Islam liberal.
Sejarawan Islam, Alwi Alatas, mengungkapkan di Indonesia telah tampak dengan jelas jejak-jejak Zionis. ”Isu-isu seputar gerakan rahasia Yahudi internasional di Tanah Air perlu terus diteliti, dibongkar, agar umat tidak lengah. Buku Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia merupakan salah satu upaya ke arah itu,” tandas Alwi.
Judul buku: Jejak Freemason & Zionis di Indonesia
Penulis: Herry Nurdi
Penerbit: Cakrawala Publishing
Cetakan: II, Februari 2006
Tebal: xxii+242 hlm
Walaupun cuma hasil rangkuman dari buku yg dia baca tanpa mengenal dan berkenalan dgn Freemasonry di Indonesia. Buku ini bagus juga di baca sekedar untuk membuka mata.
1 Comment:
harus mulai mebentengi dengan iman islam yang kuat
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda, atau tamba informasi anda jika ada.